Jumat, 08 Januari 2010

MENEPIS NASIB BURUK PETANI

Kita mengenal Swiss sebagai negara miskin sumber daya alam karena tidak memiliki laut dan tidak mempunyai banyak lahan perkebunan serta pertambangan. Namun, negeri tersebut lebih kaya daripada kita. Rahasianya cukup sederhana, yaitu warganya kreatif dan terampil dalam mengembangkan kekayaan alam yang dimiliki meski sangat terbatas serta harus mengimpor dari negara lain.

Sebagai contoh, logam kecil berharga Rp 300.000 diproduksi menjadi arloji yang memiliki nilai tawar hingga Rp 10 milliar (Kompas, 25.10.2009).

Di Indonesia, khususnya Jatim yang kaya akan sumber daya alam seperti perkebunan, laut sangat luas, tambang minyak, dan tambak udang, kekayaan itu kini tidak berbanding lurus dengan kehidupan masyarakat. Kekayaan yang melimpah itu tidak mampu menjadikan warga setempat hidup sejahtera, bahkan jatuh miskin, terutama petani dan buruh tani tegalan/

Padahal, jika kekayaan alam yang dimiliki Jatim secara khusus dan Indonesia pada umumnya diukur dengan kekayaan alam yang dimiliki swiss, itu tentu tidak sebanding. Negeri kita jauh amat kaya, sedangkan Swiss sangat miskin sumber daya alam.

Harus diakui, kehidupan petani di negeri ini tampak tertatih-tatih dalam menjalani hidup. Petani berkelindan dengan utang. Bahkan muncul istilah selain utang adalah kelaparan yang berujung pada kematian. Ambil contoh sederhana, selama musim kemarau banyak petani di probolinggi menumpuk utang karena dari April hingga kini mereka “mengantre” menunggu musim hujan datang.

Hasil bumi pada musim hujan lalu, seperti padi, jagung, dan kacang tanah yang dicanagkan untuk kebutuhan rumah tangga selama setahun, tidak cukup sehingga mereka harus membeli beras dan jagung untuk makanan sehari-hari, (Kompas, 27.10.2009). Fakta lain, akhir-akhir ini tembakau di Madura tidak memberikan hasil gemilang karena harganya anjlok tidak kunjung usai (Syafiqurrahman, Kompas, 21.10.2009).

Problem pertanian saat ini memang cukup kompleks : pupuk langka dan mahal, nilai tawar rendah bahkan produk tidak laku dijual, modal kurang, serta fasilitas minim. Tidak sedikit petani gagal panen akibat lahan mereka tidak subur karena pupuk langka atau petani tidak mampu membelinya. Hasil panen pun kadang sulit dipasarkan.

Selain itu, di pedesaan-pedesaan juga ditemukan banyak petani masih membajak sawah dengan sapi, bukan traktir. Parahnya, banyak petani di pedesaan Madura masih setia memakai dua orang sebagai pengganti sapi untuk menarik bajak. Rentetan itulah yang menjadikan petani resah, bosan, dan harus menderaskan keringat. Petani terpaksa melakukannya tidak lebih dari sekadar mempertahankan kelangsungan hidup.

Namun, masalah yang lebih mendasar bagi para petani adalah ketidakmampuan mereka mengelola hasil pertaniannya. Harus diakui, mereka hanya tahu memetik, selebihnya tidak ada. Ini entah mereka memang tidak pernah berpikir untuk mengelolanya atau justru tidak memiliki modal. Meski ada, usianya hanya seumur jagung seperti hasil produksi petani Madura, yakni keripik singkng, keripik pisang, dodol pisang, rokok, dan jagung goreng yang kemudian lebih banyak “lapuk di hujan”, bubar karena kekurangan modal. Selain itu, karena kualitas dan kemasan yang tidak meyakinkan, masyarakat kita tidak percaya diri untuk menunjukkan produk lokal di hadapan dunia.

Padahal jika dihitung-hitung, keuntungan pengelolaan dari hasil pertanian akan lebih besar ketimbang menjualnya dalam bentuk bahan mentah. Kacang tanah diproduksi dahulu menjadi kacang asin, jagung akan lebih besar nilai jualnya jika diproduksi terlebih dahulu menjadi jagung goreng, singkong menjadi keripik singkong,dan sebagainya.

Dengan demikian, mengingat karut-marut pertanian, petani sudah semestinya bertekad bulat menjalani hidup yang kreatif dan terampil dalam mengembangkan hasil pertaniannya. Tidak salah jika mengambil Swiss sebagai cermin. “Cermin” dalam upaya meningkatkan ekonomi melalui kreativitas dan keterampilan dalam mengelola kekayaan alam, termasuk pertanian. Dengan demikian, petani tidak hanya mengambil keuntungan dari memetik, tetapi juga dari mengelolanya, yang justru lebih besar keuntungannya. Sangat mungkin bagi petani, dengan kekayaan alam melimpah dan kreativitas mumpuni, akan lebih hidup sejahtera dibandingkan dengn warga Swiss.

Sumber :

Menepis Nasib Buruk Petani, Sitti Musyrifah | Pengurus BEM STIK Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep – wasik89@telkom.net
Kompas, 23.11.2009

Posted in Fitur | Tags: kreatif, produksi, hasil, kematian, harga, petani, pupuk, miskin, modal, utang, pedesaan, produk, musim hujan, kaya, Swiss, kelaparan, lokal, resah, fasilitas, hidup, kurang, sejahtera, Sitti Musyrifah, sumber daya alam, terampil, panen, anjlok, langka, minim, bajak, bosan, keringat, mengelola, mumpuni

Pengolahan Kentang menjadi Keripik

Pengolahan Kentang Menjadi Makanan Ringan
Peranan kentang sebagai bahan sayuran dan penganan juga berkembang selaras dengan munculnya kreasi-kreasi baru mengenai cara dan bentuk pengolahannya.

Kentang telah menjadi salah satu bahan penting bagi industri makanan olahan dan masih dapat berkembang karena semakin akrab dengan selera masyarakat Indonesia maupun untuk keperluan ekspor.

Usaha penganan / snack tidak hanya monopoli industri menengah dan besar, tetapi juga diperankan untuk tujuan komersial oleh industri rumah tangga dan industri kecil.

Pasarnya tetap terbuka, tergantung pada kewirausahaan para pelaku bisnis, dari skala kecil hingga besar. Contohnya adalah keripik kentang dan cracker kentang.

KERIPIK KENTANG

Bahan Yang Dibutuhkan :
Kentang 1 kg.
Minyak goreng 0,5 kg.
Larutan kapur sirih secukupnya.
Garam secukupnya.
Cara Pembuatan :
Kentang dikupas, lalu diiris tipis-tipis, kemudian direndam dalam larutan kapur sirih (10 gr liter air) selama 3 - 5 jam. Setelah itu dicuci lalu ditiriskan.
Panaskan air hingga mendidih lalu ditambahkan garam 10 g/liter air, irisan kentang direndam dalam air selama 5-10 menit, kemudian tiriskan.
Irisan kentang dijemur di bawah sinar matahari sampai kering.
Irisan kentang digoreng dalam minyak panas.
CRACKER

Bahan Yang Dibutuhkan :
Kentang rebus (dihaluskan) 1 mangkuk.
Mentega ¼ mangkuk.
Tepung terigu 1 mangkuk.
Garam ½ sendok teh.
Wijen ¼ mangkuk.
Cara Pembuatan :
Semua bahan disatukan menjadi suatu adonan. Gilinglah di atas papan yang ditaburi dengan tepung terigu.
Gosok diatasnya dengan air atau susu dan taburkan wijen atau kacang giling.
Potong adonan tersebut dalam bentuk persegi kecil-kecil.
Taruh diatas loyang yang telah dipoles dengan mentega atau minyak.
Bakar sampai kering berwarna kuning kemerah-merahan.
(sumber gambar : uniardana-photography.blogspot.com)

Nasib Petani Kecil

Beberapa tulisan ini disadur dari sebuah situs pertanian SINAR TANI ONLINE dengan harapan agar bangsa ini tidak melupakan kultur asli masyarakat Indonesia yaitu kultur masyarakat agraris. Senin, 09/02/2009, Sinar tani On line mengeluarkan tulisan di kolom situsnya dengan judul JASA PETANI KECIL. Berikut adalah pemaparannya :

Dalam sebuah diskusi yang mencoba mengkritisi prestasi pemerintahan SBY di bidang pertanian terungkap bahwa sebagian besar produksi pangan nasional sangat bergantung pada petani gurem berlahan sempit. Artinya, sebagian besar produksi pangan nasional dihasilkan para petani kecil yang memiliki sumberdaya sangat terbatas. Bukan hanya lahan mereka yang sempit, mereka umumnya juga terbatas dalam modal, pengetahuan, informasi dan juga pasar.

Oleh karena itu banyak pihak menilai ketergantungan pada petani gurem ini berbahaya bagi keamanan pangan nasional di masa depan. Berbagai keterbatasan petani kecil beresiko tinggi menggoncang ketersediaan pangan. Pengalaman membuktikan goncangan kecil saja bisa membuat petani terpuruk. Lihat saja kasus kelangkaan pupuk yang berlangsung hanya beberapa saat telah membuat ribuan petani terpukul. Musibah banjir yang terjadi di berbagai tempat juga telah menghancurkan ribuan hektar lahan petani.


Ilustrasi - formatnews.com
Padahal data faktual menunjukkan jumlah petani kecil setiap tahun cenderung terus meningkat. Tahun 1993 jumlah petani kecil hanya 51,9% dari 20,8 juta rumah tangga petani. Sepuluh tahun kemudian, tahun 2003 porsi petani gurem naik menjadi 53,9%, dan tahun 2008 diperkirakan jumlah petani kecil sudah mencapai 55,1% dari jumlah total rumahtangga petani. Data lain juga menunjukkan jumlah petani kecil yang tergusur dari lahannya setiap tahun juga cenderung terus meningkat. Ini mengindikasikan pemilikan lahan mereka juga cenderung semakin sempit.

Oleh karena itu sudah saatnya kita serius menghargai jasa petani kecil yang selama ini telah menjadi penopang produksi pangan nasional. Penghargaan itu diwujudkan dengan lebih serius memperhatikan nasib mereka. Salah satu yang terpenting adalah menghindari pemilikan lahan yang semakin sempit dan melindungi mereka dari kemungkinan tergusur. Sementara komitmen untuk memberdayakan mereka bisa dilakukan dengan memperkuat sumberdaya yang mereka miliki. Lahan yang sempit tetap bisa menjadi kekuatan potensial bila didukung sumberdaya yang kuat.

Upaya kongkrit yang bisa dilakukan adalah memberi bantuan modal usahatani. Hal ini sudah dilakukan pemerintah, termasuk memberi subsidi pupuk dan sarana produksi. Langkah ini terbukti mampu memberi hasil positif bagi peningkatan produksi lahan petani. Hal ini tentunya juga berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan petani.

Hampir satu tahun kemudian, kembali Sinar Tani Online mengingatkan kepada bangsa ini tentang nasib petani kecil di balik kenaikan produktivitas padi yang ditulis oleh Sumarno dan Unang G. Kartasasmita - Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor (sumbernya DISINI). Berikut adalah tulisan lengkapnya:

Produktivitas padi sawah yang cukup tinggi, dibarengi harga jual gabah yang bagus dalam waktu dua tahun terakhir membawakan berkah keberuntungan bagi petani padi, yang berakibat pula terhadap kenaikan kesejahteraan petani. Betulkah hal tersebut terjadi pada seluruh petani padi di perdesaan? Jawabannya ternyata terbagi dua: ya, bagi sebagian kecil, dan tidak bagi sebagian besar petani. Walaupun jawaban tersebut sudah dapat diduga sebelumnya, namun anatomi mengapa demikian dan berapa pendapatan petani dari usaha tani produksi padi sawah, menarik untuk diketahui.

Bagi kita yang biasa berhitung secara ekstrapolatif atau berdasarkan konversi, adalah sangat mudah menghitung keuntungan usaha tani padi per hektar, dan berapa nisbah atau rasio antara keuntungan dengan ongkos usaha. Untuk memberikan gambaran “keuntungan” petani dari usaha tani padi sawah pada lahan milik sendiri disajikan pada Tabel 1. Petani yang memiliki lahan sawah dua hektar akan mendapat keuntungan sekitar Rp 21,9 juta sekali panen (jangka waktu 4 bulan), atau sekitar Rp 5,48 juta per bulan. Bila petani memiliki lahan sawah 5 hektar, pendapatan per bulan mencapai sekitar Rp 13,7 juta, dan bila petani hanya memiliki 1 hektar, pendapatan per bulan hanya Rp 2,7 juta. Pendapatan dari usaha tani padi dinilai cukup layak bagi penghidupan keluarga petani apabila petani memiliki lahan sawah 2 hektar, atau minimal 1 hektar.

Jadi, adalah benar bahwa produktivitas padi sawah yang tinggi dan harga jual gabah yang bagus, membawa keberuntungan usaha bagi petani, yaitu petani pemilik lahan yang agak luas, lebih dari satu hektar. Dan memang seharusnyalah, petani padi memiliki lahan sawah sendiri, idealnya minimal 2 hektar per KK. Seperti halnya petani padi di Thailand, mereka rata-rata memiliki luas lahan garapan 5 hektar /KK, di Malaysia 4 hektar /KK, dan bahkan di Australia mencapai 100 hektar /KK. Sayangnya petani padi di Indonesia kepemilikan lahan sawahnya rata-rata hanya 0,5 hektar. Di Karawang dan di Indramayu, Jawa Barat, memang ada beberapa petani yang luas sawahnya 50 hektar, bahkan ada yang lebih. Akan tetapi, jumlah pemilik lahan yang luasnya demikian hanya sedikit, kurang dari 1%, sedangkan yang terbanyak antara 0,3-0,7 hektar. Dapat dibayangkan betapa akan sejahteranya petani Indonesia apabila skala usahanya sama dengan petani Thailand, apalagi bila sama dengan petani Australia.


Ilustrasi - desaingrafisindonesia.wordpress.com
Petani Penggarap

Petani penggarap tidak mempunyai lahan sawah, mereka menanam padi atas dasar bagi-hasil dengan pemilik lahan. Petani penggarap merupakan petani padi aktif, karena ia mengerjakan usaha tani padi dari sejak membuat persemaian, olah tanah, tanam, pemupukan dan seterusnya hingga panen. Bahkan, petani penggarap membeli benih, pupuk, pestisida, dan membayar ongkos pengolahan tanah dengan traktor dan membayar tenaga kerja tanam, penyiangan, dan panen. Faktor yang membedakan petani penggarap dengan petani padi biasa adalah mereka tidak memiliki lahan sawah yang mereka garap. Istilah lain petani penggarap adalah petani pemaro, pengedok, atau petani bagi hasil. Dalam bahasa Inggris, petani penggarap disebut sebagai share-cropper. Dalam istilah lain, petani penggarap ini dapat juga disebut sebagai buruh tani atau petani kuli kendo.

Jaman dulu sebelum 1960 di perdesaan sudah ada petani penggarap, tetapi jumlahnya sangat sedikit, mungkin hanya 1-3 KK pada setiap pedukuhan yang terdiri atas 50-70 KK petani. Dengan demikian, petani penggarap dapat hidup dengan nyaman, karena di desa tersedia banyak pekerjaan dari petani pemilik lahan, di samping lahan sawah bagi hasil yang ia kerjakan. Masyarakat desa pada umumnya memberikan keringanan kepada petani tanpa lahan untuk tidak usah membayar iuran untuk pembuatan jalan desa, iuran pemeliharaan saluran irigasi, atau iuran pembangunan tempat peribadatan. Bahkan warga desa yang baik hati, sering memberi bagian hasil panen padi kepada petani tanpa lahan yang pernah “membantu bekerja” di sawahnya, dalam jumlah yang lumayan. Demikian juga untuk hasil panen komoditas lain, seperti jagung, kacang, bawang merah, cabe, labu, atau pisang. Memberi bagian panen kepada keluarga petani tanpa lahan merupakan kebanggaan bagi keluarga petani yang mampu. Akan tetapi itu dahulu, antara tahun 1950-an hingga tahun 1960-an, pada waktu jumlah petani penggarap atau buruh tani atau kuli kendo di perdesaan kurang dari 3% dari total KK petani.

Bagaimana Status Petani Tuna Lahan pada Abad XXI?


Sungguh sangat mengejutkan, di beberapa kabupaten di Jawa Barat, petani tanpa lahan yang berstatus sebagai petani penggarap jumlahnya mencapai 30-60%, bahkan mereka yang berstatus sebagai buruh tani atau kuli kendo di beberapa desa mencapai 75%. Ini suatu porsi jumlah yang sangat banyak, apalagi pada kondisi kepemilikan lahan sawah petani (bagi petani yang memiliki lahan) kurang dari 0,5 hektar. Petani pemilik lahan secara faktual tentu tidak dapat menyerap tenaga kerja ”tuna lahan” yang jumlahnya melebihi petani pemilik lahan, sehingga terdapat ”pasokan tenaga” yang berlebihan atau labour over supply di perdesaan.

Kalau kita membaca tulisan diatas, suatu masalah yang sudah sering diukas dan dibicarakan lewat berbagai macam forum. Bahkan mulut-mulut para pengamat, pemerhati dan pelaku di bidang pertanian mungkin sudah berbusa-busa atau malah sudah kaknya musim kemarau. Seingat saya jaman ORBA dulu sewaktu GBHN masih menjadi pedoman untuk menentukan arah pembangunan Indonesia yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) sudah sangat jelas bahwa sektor pertanian menjadi skala prioritas utama dalam pembangunan bangsa ini. Selain itu sudah sangat jelas juga rencana pembangunan pertanian kita bukk hanya pertanian yang menghasilkan produksi bahan baku tetapi sudah pada pengembangan teknologi yang disertai tumbuhnya industri-industri di sektor pertanian. Terlepas kaitannya dengan gonjang ganjing politik, makin kesini pembangunan sektor pertanian bangsa ini makin tidak jelas. Sepertinya bangsa ini hanya bisa berwacana, beretorika dan menjadi konsumen bagi komoditi-komoditi pertanian yang berasal luar negeri terutama Cina, India, Malaysia, Thailand, Australia, Amerika Serikat dan sebagainya.

Memang benar, pembangunan sektor pertanian bukanlah pekerjaan yang mudah tetapi setidaknya bangsa ini menyadari sektor inilah yang menjadi keunggulan kompetitif bila ingin bersaing dengan bangsa lain. Butuh kerja keras, sinerji dan koordinasi yang komprehensif dari seluruh pihak yang berkompeten di bidang pertanian serta dukungan yang kuat dan besar dari seluruh rakyat Indonesia. Kapan lagi kalau bukan sekarang, bangsa-bangsa lain sudah memulai. Saya hanya bisa berharap tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi tulisan tentang Petani Kecil tetapi yang menonjol adalah keberhasilan Petani Kecil yang sukses dan bangga menjalani profesinya sebagai PETANI.